Diskusi Publik “Mengulas Hak-Hak Pekerja Perempuan” bersama Kaprodi Magister Hukum UAD
Pers Mahasiswa (Presma) POROS Universitas Ahmad Dahlan (UAD) selenggarakan diskusi publik bertajuk “Mengulas Hak-Hak Pekerja Perempuan” pada Sabtu, (17-12-2022). Terdapat 3 narasumber, salah satunya Dr. Fithriatus Shalihah, S.H., M.H. selaku pakar hukum ketenagakerjaan UAD sekaligus Kepala Program Studi (Kaprodi) Magister Hukum UAD.
Fithriatus Shalihah mengatakan urusan perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja perempuan telah diatur dengan baik dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia. Pemenuhan hak maternitas tertuang pada Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 maupun UU Nomor 11 Tahun 2020 yang telah mengakomodir hak pekerja perempuan.
Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang hukum ketenagakerjaan, ia memaparkan bahwa dalam hukum perjanjian hak sendiri bisa tergolong hak searah atau relatif dan hak absolut yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. “Hubungan kerja merupakan hubungan yang didasari oleh perjanjian kerja yang seharusnya masuk dalam ranah hukum privat. Sayangnya, dalam konteks hubungan tersebut negara berkepentingan mengintervensi dengan memberikan pengaturan tentang ketenagakerjaan, termasuk di dalamnya tentang hubungan kerja.”
Menurutnya, urusan pekerja atau buruh, negara harus hadir. Sebab, negara menjadi tempat bergantung satu-satunya perlindungan pemenuhan hak bagi mereka. Termasuk pemenuhan hak maternitas bagi pekerja perempuan.
Fithriatus Shalihah memaparkan tentang konvensi internasional (ILO) yang menjadi rujukan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan. Di antaranya Konvensi Nomor 100 Tahun 1951 tentang kesetaraan upah, Konvensi Nomor 111 Tahun 1958 tentang larangan diskriminasi atas pekerjaan dan jabatan, Konvensi Nomor 156 Tahun 1981 tentang pekerja dengan tanggung jawab keluarga, dan Konvensi Nomor 183 Tahun 2000 tentang perlindungan kehamilan.
“Oleh karena itu, salah satu yang diatur dalam ketentuan pasal 153 ayat (1)e hukum nasional kita bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pekerja hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya,” ujarnya.
Lebih lanjut, dalam UU juga secara jelas dan tegas mengatur tentang waktu bagi pekerja perempuan, seperti larangan bagi yang belum berumur 18 tahun dan perempuan hamil dilarang bekerja malam hingga pagi hari. Oleh karena itu, pengusaha punya kewajiban memberikan makanan dan minuman bergizi dan menjaga kesusilaan, keselamatan, serta keamanan di tempat kerja. Termasuk juga memberikan fasilitas antar jemput bagi yang bekerja pada jam tersebut.
Ia menyinggung masalah yang mengatur hak-hak pekerja perempuan pada Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA), tentang cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan dengan waktu 6 bulan. Fithriatus menjelaskan bahwa yang dimaksudkan agar pekerja perempuan yang telah menjadi ibu tersebut dapat memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya.
Ia menilai, standar pemberian hak maternitas dalam RUU KIA dianggap lebih baik dari yang telah diatur saat ini oleh UU Ketenagakerjaan. Seharusnya pemerintah tidak boleh abai, bahwa bicara mengenai pemenuhan hak pekerja perempuan termasuk cuti hamil dan melahirkan tersebut sudah jelas berada dalam lingkup UU Ketenagakerjaan. “Siapa yang berwenang mengatur, melaksanakan, dan mengawasi sudah jelas. Termasuk persoalan pembiayaannya yang sejauh ini sudah berjalan. Sehingga, RUU KIA ini harus dikaji ulang, jangan sampai akhirnya nanti disahkan menjadi UU kemudian muncul masalah baru yakni tumpah tindih peraturan,” tambahnya.
Menyikapi permasalahan tersebut, Fithriatus mengungkapkan bahwa dalam tataran law in action pun akan susah diterapkan pada kondisi Indonesia saat ini, karena jumlah angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan setiap tahun terus meningkat. Sementara jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah orang yang membutuhkan pekerjaan.
Dari sisi pekerja perempuan, kata Fithriatus, bisa saja ini menjadi celah yang membahayakan kedudukan mereka dalam dunia kerja. Pengusaha bisa juga cenderung berpegang pada no work no pay. “Sebab selama 6 bulan tidak bekerja, sedangkan pengusaha harus tetap memberikan upahnya. Hal seperti ini akan menjadi persoalan pada hubungan kerja di dunia usaha dan dunia industri yang mempekerjakan pekerja perempuan, khususnya sektor swasta. Kecuali BUMN akan menegakkannya terlebih dahulu jika harus diberlakukan juga menjadi UU,” tutup dosen Fakultas Hukum UAD itu. (Retno/guf)